* Jemari Berkisah: Enita Ahmad, Seniman Henna Surabaya yang Ukir Cerita di Setiap Lukisan
Di balik keindahan motif henna yang menghiasi tangan, tersimpan kisah perjuangan dan ketekunan Enita Ahmad, seniman henna asal Surabaya yang telah menekuni dunia seni ini selama hampir dua dekade. Belajar secara otodidak tanpa guru maupun pelatihan formal, Enita menjadikan henna bukan hanya sebagai hiasan, tetapi juga medium untuk berbagi kebahagiaan, mengekspresikan diri, dan membangun kepercayaan diri banyak orang lewat setiap sapuan motif di kulit.
Henna bukan sekadar pewarna
kulit, tetapi sebuah bentuk seni, tradisi, dan cara mengekspresikan diri yang
telah diwariskan selama ribuan tahun. Dari padang pasir Timur Tengah hingga
pelosok Asia Tenggara, henna hadir sebagai simbol kecantikan, harapan, dan
perayaan. Dibuat dari daun tanaman Lawsonia inermis yang dikeringkan dan
ditumbuk menjadi bubuk halus, henna meninggalkan jejak warna cokelat kemerahan
di kulit yang bisa bertahan antara satu minggu hingga satu bulan, tergantung
pada seberapa sering digunakan. Di berbagai kebudayaan, henna kini tidak hanya
untuk keperluan estetika, tetapi juga menjadi bagian penting dalam berbagai
acara sakral seperti pernikahan dan hari raya.
Di tengah keramaian kota
Surabaya, seni henna memiliki arti yang mendalam bagi Enita Ahmad. Bagi
perempuan yang akrab disapa Ita ini, henna bukan sekadar tradisi, melainkan
medium untuk berkarya, berbagi, dan menyentuh hati banyak orang. “Sudah hampir
dua dekade saya berkecimpung di dunia henna, awalnya hanya iseng untuk
mendapatkan penghasilan sendiri,” ungkapnya kepada Kompas.com. Dari hobi iseng
tersebut, ia menemukan panggilan hidupnya.
Tanpa mengikuti kelas
formal, Enita belajar secara mandiri dengan bantuan suaminya yang juga
berprofesi sebagai seniman tato. Ia mengaku hanya butuh waktu kurang dari
seminggu untuk mulai menguasai dasar-dasar henna. Bermodal tusuk gigi dan
keberanian, Enita mulai melukis di tangan orang-orang di sekitarnya. Seiring
waktu, namanya kian dikenal dan pelanggannya pun beragam—dari anak-anak,
remaja, hingga ibu-ibu yang rela antre untuk dihias oleh tangannya.
“Biasanya untuk acara
pernikahan, tapi waktu Lebaran kemarin banyak juga yang minta henna. Anak-anak
apalagi, karena libur sekolah jadi bebas pakai henna,” jelasnya. Permintaan
desain pun beragam, mulai dari bunga, motif abstrak khas Timur Tengah, hingga
gambar karakter kartun kesukaan anak-anak. “Saya sediakan berbagai contoh
desain, tapi kalau ada permintaan khusus, dan saya bisa, pasti saya kerjakan,”
tambahnya.
Tantangan terbesar baginya
adalah menjaga keseimbangan dan simetri desain, terutama saat harus membuat
motif yang identik di kedua tangan. “Bikin kanan dan kiri harus sama, apalagi
motif-motif Arab yang abstrak itu susah,” ujarnya. Meski sekarang tersedia
henna instan yang lebih praktis, Enita tetap setia menggunakan henna alami
tanpa campuran bahan kimia karena lebih aman dan tahan lama.
Meski hanya bertahan selama
beberapa hari, bagi Enita, henna bukan dinilai dari berapa lama ia menempel di
kulit, melainkan dari cerita yang mengiringinya. Setiap desain adalah bagian
dari sebuah momen—ada senyum, kenangan, dan kepercayaan diri yang tumbuh dari
lukisan sederhana di atas kulit.
Komentar
Posting Komentar